Selasa, 12 Agustus 2014

Toleransi


Shalat Id diantara Masjid dan Gereja
Ini adalah suatu hari yang istimewa yang dihiasi gema takbir, dan pagi yang cerah ketika matahari memancarkan sinar hangatnya, menembus kabut tipis di langit-langit hingga sinarnya jatuh disini, di lapangan. Ya lapangan Pastoran, dimana tempat ribuan umat muslim setempat yang berkumpul untuk mengikuti shalat Id yang akan dilaksanakan pagi ini. Aku dan keluarga, ada diantara kerumunan yang akan melaksanakan shalat Id.
Hari raya Idul Fitri 1435 H, aku dan keluarga memulai pagi dengan bersiap mengikuti shalat Id, jarak tidak begitu jauh dari rumah, dengan menggunakan sepeda motor aku menuju lapangan Pasturan. Terlihat beberapa orang yang mengatur jalan menuju lapangan itu agar tetap lancar, sesampainya aku mencari tempat parkir, beberapa tempat sudah penuh kendaraan, disisi kanan maupun kiri jalan sudah penuh sesak mobil dan sepeda motor, aku melihat ada ruang kosong diantara sepeda  ditrotoar dan berniat memarkirkannya ditempat itu, aku tidak menyadari beberapa orang yang berada di bangunan tua berarsitektur belanda tersebut, memenggil menyuruhku dan beberapa orang dibelakangku untuk memasukan kendarannya dan mempersilahkan memakirkan dihalaman bangunan belanda dengan lambang salib diatasnya, orang-orang menyebut tempat itu Bluderan.
 Aku pun memakirkan kendaran di halaman Bluderan dan berhenti di sudut bangunan, diikuti beberapa orang yang juga memarkirkan kendaraannya, sementara ayah berbincang akrab dengan beberapa orang yang menyuruh aku memakirkan kendaraan dihalaman bluderan, orang-orang itu dikenal sebagai bluder beberapa menyebutnya pastor sedangkan  ibu sudah berjalan bersama teman lama yang baru dijumpainya, beberapa orang berjalan dan saling menyapa satu sama lain, meminta maaf dan bertakbir, mereka berjalan berduyun-duyun dengan pohon-pohon menjulang tinggi yang tertata rapi ditepi trotoar menuju lapangan Pasturan, aktivitas seperti ini selalu aku temui ketika lebaran tiba, para Bluder setempat berbaik hati meyediakan tempat parkir di Bluderan, sekolah dan gereja, mereka  ikut membantu memperlancar jalannya shalat Id dari awal samapi akhir.
  Entah kenapa mataku merasa nyaman ketika memandangi mereka saling menyapa. Begitulah setiap tahun pada hari besar selalu ada sapaan meski berbeda keyakinan, dan akan menjadi sebuah momen yang membekas indah ketika lebaran bagi saya dan bagi orang yang pertama  berkunjung dan menyempatkan shalat Id di lapangan tersebut.
Tempat yang aku bicarakan ini berada di sebuah Kecamatan kecil bernama Muntilan berada Kabupaten Magelang, Jawa Tengah dan  jika  dipandang jauh ke segala arah tempat tersebut, terlihat deretan pohon, bangunan berarsitektur belanda,  pemukiman, dan sebuah lapangan sepak bola, tapi daerah ini unik dan istimewa, karena ada dua masyarakat berbeda keyakinan tinggal berdampingan, yang hanya dipisahkan oleh jalan tidak begitu besar yang terbentang dari utara ke selatan, dan bercabang berupa jalan kecil dari timur ke barat yang membentuk dua blok disisi barat. Di sisi timur ada pemukiman warga katolik dengan bangunan belanda yang besar yang berfungsi sebagai sekolah dan gereja, dan sisi barat ada pemukiman warga muslim dengan jalan kecil, disisi paling utara terdapat pemakaman milik warga katolik, bluderan dan sekolah TK katolik, juga terdapat sebuah lapangan sepak bola, disisi selatannya terdapat pemukiman warga muslim kauman dengan sebuah pondok pesantren, masjid yang cukup besar dan sekolah TK kauman.
Lapangan sepak bola tersebutlah yang selalu menjadi tempat shalat Id setiap hari besar islam oleh warga muslim setempat dan sudah berlangsung belasan tahun bahkan sejak ayah saya kecil, lapangan ini dikenal sebagai lapangan pasturan, ya orang-orang sekitar menyebutnya lapangan pastoran bukan tanpa sebab, ini karena lapangan yang berada di komplek katolik dengan gerejanya yang besar dan sering dijumpai pastor atau bluder, mungkin itu sebabnya lapangan ini disebut lapangan pastoran, walaupun sebernarnya lapangan itu milik pememerintah daerah.   

Begitulah setiap tahunnya, tetapi toleransi seperti ini tidak hanya terjadi dihari besar saja, dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup berdampingan, penuh dengan sapaan antara warga katolik dan warga kauman. Satu contoh toleransi antarumat beragama yang patut diteladani, masing-masing pihak saling menghormati ketika perayaan hari bersar tiba, ini yang terjadi disebuah kota kecil bernama Muntilan.




 Seorang ibu sedang menggandeng putranya didepan ribuan umat muslim, terlihat di belakang bangunan tua berarsitektur Belanda yang berfungsi sebagai Gereja

 



0 komentar:

Posting Komentar